HOSPITALNENEARME — JAKARTA – Anemia Defisiensi Besi (ADB) atau kekurangan zat besi menjadi ancaman bagi anak. Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2024 menyebutkan prevalensi anemia pada anak 0-4 tahun (balita) sebanyak 23,8 %. Potensi kekurangan zat besi pada anak mulai terjadi pada usia 6 bulan.
Hal itu disampaikan Direktur Pelayanan Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan dr. Lovely Daisy, MKM, dalam seminar kesehatan yang diselenggarakan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Jakarta (FKM UMJ) bersama Majelis Kesehatan Pengurus Pusat ‘Aisyiyah (Makes PPA).
Hampir seperempat dari balita kita mengalami anemia,” kata dr. Lovely, dikutip Minggu (18/5/2025).
Tingginya angka ADB pada balita salah satunya terungkap setelah pelaksanaan Program Kesehatan Gratis (PKG) Kemenkes yang baru berjalan di awal tahun ini. Lebih 1.000 lebih anak di bawah usia dua tahun ditemukan mengalami ADB. Bahkan, permasalahan ADB menjadi salah satu dari 5 gangguan kesehatan terbesar pada anak selain permasalahan gigi, gizi hingga keterlambatan perkembangan anak.
“Kita temukan 1.000 lebih itu balita 2 tahun dengan anemia Ini prevalensinya lumayan cukup tinggi sebenarnya,” ucap dr. Lovely.

dr. Lovely pun meyakini, dengan terus berjalannya PKG, berbagai gangguan kesehatan yang terjadi pada balita dapat diketahui. Dengan begitu, tindakan intervensi dapat dilakukan lebih cepat.
“Karena ini (PKG) baru, jadi masih sedikit. Nanti setelah ini terus berjalan, mudah-mudahan semua nanti bisa kita lakukan pemeriksaan sehingga intervensinya juga bisa kita antisipasi dengan baik,” ujarnya.
Dokter spesialis anak, Dr.dr. T.B Rachmat Sentika, SpA, MARS, dalam kesempatan itu mengatakan sudah sebaiknya perhatian terhadap pemenuhan zat besi tidak hanya fokus pada remaja putri dan ibu hamil, namun juga pada balita, terutama usia 6 – 24 bulan. Sebab, kekurangan mikronutrien rentan terjadi pada usia tersebut.
“Upayakan anak itu mengonsumsi pangan yang difortifikasi, makanan-makanan fabrikasi yang memang diperkaya dengan vitamin dan zat gizi mikro,” jelas Rachmat Sentika.
Sebagaimana diketahui, pangan fortifikasi biasanya ditambahkan vitamin, mineral, dan zat gizi mikro lainnya yang diperlukan untuk banyak fungsi tubuh. Sebab, tubuh tidak dapat membuat mikronutriennya sendiri. Karena itu, mikronutrien harus berasal dari makanan sehat yang dikonsumsi. Di antara pangan yang difortifikasi yang saat ini umum dikonsumsi masyarakat adalah tepung terigu, sereal, roti gandum dan susu.
Lebih lanjut, ia mengatakan banyak jenis pangan fortifikasi yang mudah di temui di sekitar kita yang seharusnya dapat menjadi sumber pemenuhan gizi anak. “Edukasi tentang makanan-makanan kaya gizi ini sudah ada dalam buku KIA, jadi buku KIA yang dibawa saat ke Posyandu itu bukan hanya untuk mengisi tinggi badan dan berat badan anak, tapi juga ada banyak informasi tentang makanan kaya gizi untuk ibu hamil dan balita,” jelas Rachmat Sentika.
Wakil Ketua Majelis Kesehatan PP Aisyiyah, Dra. Chairunnisa, M.Kes. mengaku prihatin dengan tingginya angka risiko ADB pada balita Indonesia. Dia menyebut permasalahan ADB tidak boleh dibiarkan begitu saja dan harus menjadi perhatian bersama.
“Satu dari tiga balita Indonesia itu berisiko untuk mengalami ADB. Fakta ini tentu tidak bisa kita abaikan begitu saja,” tutur Dra. Chairunnisa.